Cover Novel Layang-layang Patah |
Penulis: Eva Nukman
Penerbit: Tiga Ananda, 2011
Tebal: 120 halaman
Walaupun judulnya terbilang puitis, saya tidak menyangka lokasi yang dipilih untuk latar cerita Mido dan Alvin ini di “dunia nyata”, di salah satu wilayah Indonesia yang sependek pengetahuan saya lebih sering disentuh buku-buku fiksi remaja dan dewasa, termasuk sastra lama. Untuk saya yang hanya pernah mendengar Bukittinggi dan Padang, sungguh suatu wawasan baru. Di manakah gerangan Baruagunuang? Jepretan kamera Yose Hendradi ini salah satu temuan sewaktu googling.
Kendati saya bukan anak-anak lagi, memang menjemukan menyimak cerita yang lagi-lagi berlokasi di kota besar dan terlalu “familier”. Bukan berarti tidak ada yang bisa digali dari tempat-tempat “populer” itu, namun menjenguk daerah-daerah yang namanya pun belum pernah didengar sungguh mengayakan dan mengasyikkan.
Di Baruagunuang itulah, Mido dan Alvin – dua sepupu yang baru kali pertama bertemu, saling mengenal lebih jauh. Tentu tak hanya berdua. Alvin yang harus menjalani terapi khusus untuk kakinya tak mau dianggap lemah, sementara saudara-saudara lain berusaha bela rasa dengan melakukan kegiatan yang bisa melibatkan bocah ini. Mido telanjur jengkel karena batal berlibur ke Tokyo dan berusaha menyaingi Alvin dalam beberapa hal.
Toh, penulis tak lupa bahwa kedua karakter utamanya ini masih kanak-kanak. Mido bisa ngambek, bisa takut sewaktu menginap di rumah “orang asing”, juga sekali waktu dirundung perasaan bersalah atas suatu perbuatan yang diulangi. Ada interaksi dengan orang dewasa meski tidak dominan, karena bagaimanapun pelajaran membuat layang-layang khas (layang-layang soronguang) butuh bimbingan yang lebih berpengalaman. Saya juga baru tahu, bahasa Baruagunuang berbeda dengan bahasa Minang pada umumnya. Yang paling saya ingat, tobek = kolam.
Unsur utama cerita Layang-layang Patah adalah permainan tradisional, dikemas sedemikian rupa dengan balutan budaya lokal nan menawan, seru pula untuk dibaca orang-orang dewasa yang menggemari traveling sebab bahasanya tidak “kaku” pada satu segmen. Intinya, seluruh cerita enak disimak dan kadang menggelitik tawa. Saya juga suka ide penulis, di samping pesan moral yang teramat implisit dan kena, menggambarkan Mido-Alvin bisa menilai sisi positif satu sama lain. Mengharukan.
Sumber cover: goodreads
credit : http://bacabukuanak.wordpress.com
0 komentar :
Posting Komentar