Pak petani Ramai-Ramai Main Layang Layang |
BANGKALAN - Musim kemarau berdampak pada kekeringan lahan pertanian. Banyak sawah yang tidak bisa ditanami. Namun bukan berarti lahan (tegalan) dibiarkan begitu saja. Kondisi tegalan yang tak ditanami tersebut menjadi ajang menyalurkan hobi baru sebagian besar warga Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Mereka bermain layang-layang raksasa atau biasa disebut wang-wangan. Belum diketahui secara pasti, kenapa disebut dengan layangan wang-wangan. Cuma, sebagian besar warga berpendapat nama tersebut diambil dari bunyi layangan saat naik ke udara. Puluhan pemuda, termasuk juga di dalamnya golongan tua dan ibu-ibu, berkumpul di sebuah tegalan yang ada di Desa/Kelurahan Kemayoran, Kecamatan Kota, Kabupaten Bangkalan. Mereka berkumpul bukan dalam rangka hendak bercocok tanam atau beraktivitas tani. Hampir setiap sore, mereka memilih bermain layang-layang raksasa. Musim kemarau seperti saat ini, identik dengan musim layangan dengan ukuran yang cukup besar. Tidak hanya besar dalam segi fisik, layangan tersebut juga mengeluarkan bunyi yang nyaring. Ada beberapa bentuk layang-layang raksasa, yang sebagian besar menggambarkan jenis hewan seperti ular, kupu-kupu, dan tawon. Layangan tersebut dihias sedemikian rupa, termasuk diberi warna yang anggun, agar menambah daya tarik bagi warga yang melihat. “Semakin kencang angin berhembus, semakin nyaring bunyi yang keluar dari layangan rakasasa ini,” ujar seorang pencinta layang, Jimhur Saros, ditemui di sekitar tegalan Desa Kemayoran. Menaikkan layangan raksasa ini, menurut Jimhur, tidaklah mudah. Dibutuhkan paling tidak lima sampai 10 orang yang mempunyai tugas masing-masing, mulai dari yang memegang layangan (onjuk), hingga yang menarik tali tampar ukuran besar pula. Hal tersebut cukup beralasan, karena panjang dari layangan bisa mencapai 7 sampai 10 meter. Praktis, dengan ukuran sebesar itu, tentunya biasa pembuatannya tidaklah murah. Ya, paling tidak mengeluarkan kocek setara Rp500 ribu, sampai dengan jutaan rupiah. “Membuat (layangan) tidaklah mudah. Bambunya juga tidak sembarangan, termasuk kertas yang dipasang. Butuh tenaga dan biaya yang ekstra,” urainya. Musim bermainan layangan raksasa, kata dia, paling tidak bisa menjadi hiburan bagi petani yang selama ini tidak bisa bercocok tanam. Sebab, selain pasokan air tidak ada, tegalan yang dimiliki petani juga tidak bisa dibuat untuk bercocok tanam. “Ya, daripada berpangku tangan akibat tidak bisa cocok tanam. Lebih baik main layangan raksasa saja,” ungkap Jimhur. Tidak hanya di pinggiran kota, musim layangan wang-wangan juga melanda hingga pelosok desa. Malahan, di desa permainan dimulai dari siang hingga petang. Bahkan ada juga yang sengaja tidak diturunkan meski sudah menginjak waktu malam hari. “Cukup bervariasi, sekarang juga ada yang dinaikkan malam hari. Di sisi pojok kanan kiri juga diberi lampu warna-warni, sehingga indah saat dipandang,” ucap tokoh masyarakat Kecamatan Arosbaya, Mashuri.
0 komentar :
Posting Komentar